Terasing! Di Negeri Sendiri

Terasing! Di Negeri Sendiri

Terasing! Di Negeri Sendiri - Pramoedya Ananta Toer dalam perbincangan dengan Andre Vltchek dan Rossie Indira

Ada lima poin yang bisa kutuliskan setelah membaca buku ini, kelima poin tersebut ialah,

Pertama, aku beruntung mendapatkan buku ini. Disini, di London. Awalnya aku cuman jenuh dengan daftar bacaanku yang semuanya kebanyakan berbahasa Inggris. Aku coba mencari di-Ebay lalu kemudian di-Amazon.co.uk dan ternyata Amazon menyediakan beberapa buku berbahasa Indonesia. Selain buku ini ada juga Corat-coret di-Toilet karya Eka Kurniawan dan Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu oleh Norman Erikson Pasaribu yang aku beli di Amazon. Ketiga buku ini dicetak di-Inggris oleh Amazon sendiri.

Kedua, aku kesal setelah membaca buku ini. Kesal yang sebenarnya tidak tahu kepada siapa. Aku seperti turut merasakan kesal seperti kesal yang dirasakan oleh Pram terhadap perlakuan negara kepadanya. Semua yang dimiliki Pram dirampas oleh negara, rumahnya diambil, naskah-naskahnya dirampas dan dibakar, perpustakaannya dan koleksi buku, surat-surat dan semua barangnya dimusnahkan dan yang paling menyedihkan kehidupannya direnggut, Pram dibuang ke Pulau Buru. Selama hidupnya Pram penahanan menjadi hal yang sangat umum baginya. Dia pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial Belanda, 1 tahun pada masa Orde Lama dan 14 tahun sebagai tahanan politik tanpa prose pengadilan pada masa Orde Baru.

Dalam buku yang ditulis oleh Andre Vltchek dan Rossie Indira ini, mereka mendatangi Pram untuk menyusun buku ini, melakukan wawancara yang banyak menguak perasaan dan isi hati Pram. Wawancara yang dilakukan pada sekitaran May 2004, saat itu umur Pram sudah 80 tahun, sudah sangat tua dan mulai sakit-sakitan. Pram sudah lama berhenti menulis, mungkin setidaknya sejak tahun 2000, dimana ketika itu dia terserang stroke. Bisa jadi juga jauh sebelum itu, mengingat dalam wawancara tersebut tergambar kekesalan dalam dirinya tentang semua yang telah terjadi padanya dan pada naskah-naskahnya yang tidak pernah terbit.

Ketiga, buku ini masih sangat relevan bahkan hingga sekarang, tahun 2022 ini. Pram selama hidupnya telah mencurahkan sepenuhnya perhatiannya terhadap Indonesia, tidak hanya melalui karyanya, namun juga terhadap pemikiran-pemikirannya. Pram berpendapat bahwa Indonesia sampai sekarang tidak punya budaya dan karakter. Mengenai budaya mungkin sebagian besar kita tidak setuju, kita punya kekayaan budaya dari Sabang-Merauke, tapi tidak menurut Pram berpendapat,

“Kebudayaan Indonesia yang kaya? Omong kosong, saya tidak setuju! Kebudayaan Indonesia sangatlah miskin. Mana yang disebut budaya Indonesia? Budaya Indonesia yang sebenarnya belum lahir. Apa yang kita kenal sekarang sebagai kebudayaan Indonesia hanyalah kebudayaan lokal dan daerah saja. Apa yang bisa dinamakan kebudayaan Indonesia? Memang ada sastra Indonesia, karena ditulis dalam bahasa Indonesia. Selebihnya apa? Yang ada hanyalah beberapa bentuk kebudayaan daerah, seperti misalnya tarian Bali. Setiap daerah mempunyai cerita lokal kedaerahan, terutama Aceh. tapi apakah hal itu bisa disebut kebudayaan?
…”

Pram mengkritik, kita sebagai bangsa, Indonesia, kekurangan identitas dan karakter. Kita tidak punya karakter yang kuat untuk menjadi sebuah bangsa besar, bangsa yang bisa berkuasa setidaknya di Negeri sendiri. Kita hanya konsumen dan pekerja. Kita tidak mampu memproduksi sendiri. Ditambah sikap korup dan tidak adanya pemimpin yang mempunyai wawasan ke-Indonesi-an. Yang ada hanya calon presiden yang hanya mengejar kepentingannya sendiri (atau golongannya). Indonesia sekarang diperintah oleh pencarian keuntungan! Hal yang disampaikan Pram tersebut setidaknya masih sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini.

Lalu apakah Pram hanya sebagai seorang yang pesimis dan mengkritik saja? Tidak, Pram juga berusaha memberikan solusi, ditengah kelelahannya dimasa-tuanya. Pram menaruh harapan pada Generasi muda untuk melanjutkan Revolusi. Sebuah Revolusi Total. “Indonesia saat ini dalam keadaan membusuk. Korupsi dan birokrasi di mana-mana, dan ini dalah dua sindrom utama dari penyakit kita. Dalam hal ekonomi, hampir tidak ada produksi tapi kita punya konsumsi yang sangat besar. Keluarga tidak mengajari anak-anak mereka bagaimana berproduksi. Sebegitu buruknya sehingga hanya revolusi yang bisa menyelematkan bangsa ini. Saya rasa, Indonesia sudah tidak bisa tertolong lagi, kecuali dengan melakukan perubahan yang radikal. Dan ini harus dipimpin oleh angkatan muda. Jangan banyak bicara. Harus langsung bertidak! Obatnya hanya revolusi, tidak ada yang lain. … harus mulai dari awal. Sekarang sudah rusak sekali, reformasi apapun tidak akan berpengaruh. … Revolusi Total”

Keempat, Pemuda. Pram berpendapat bahwa pemuda yang menjadi kunci dari Revolusi Total dari solusi yang ditawarkannya untuk memperbaiki Indonesia, “tapi kondisi Indonesia sekarang ini memang membutuhkan revolusi. Dan semua ini berada ditangan pemuda. Angkatan tua hanya menjadi beban kemajuan saja, termasuk saya barangkali … “. Namun Revolusi total ini mendapat penekanan dari Pram, bahwa yang Indonesia dan Pemuda Indonesia lawan saat ini seharusnya ialah budaya-budaya yang tidak pantas dan terbelakang, korupsi, birokrasi, budaya sebagai pesuruh/pekerja. Indonesia harus melawan keseluruhan sistem budaya, masyarakat, dan politik. Bukan hanya mereformasi Orde Baru-nya Soeharto untuk memunculkan versi lainnya yaitu Orde Baru Baru. Reformasi 1998 hingga sekarang ini cuman menghasilkan sistem yang sama yang menghancurkan Soekarno, pemikiran dan cita-citanya tentang National Character Building serta menghentikan perkembangan natural negara Indonesia. Kita tidak ingin itu terjadi lagi. Indonesia seharusnya tidak hanya menuntut sebuah rezim turun, namun juga harus dapat mampu merumuskan budaya dan karakter kita. Nilai-nilai dan sistem yang dapat mempersatukan Indonesia dan membuat Indonesia bergerak maju dari Sabang sampai Merauke. Tanpa intervensi luar!

Kelima, tulisan ini merupakan sebuah catatan yang aku pribadi tulis sebagai sebuah pengingat mengenai buku yang pernah kubaca. Kemudian, sama seperti Pram yang dalam wawancaranya yang berapi-api, sempat menekankan bahwa “Saya tidak inign dibilang menghasut …“ Aku juga begitu. Tidak ada maksud dari tulisan ini menghasut atau menyulut sesuatu. Buku ini mengajarkanku banyak hal yang sebagian besar kusimpan sendiri dan membentuk diriku menjadi manusia Indonesia yang utuh yang siap menghadapi dunia modern.