Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas

Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas - Eka Kurniawan

Ini merupakan novel kedua dari Eka Kurniawan yang telah kuselesaikan. Novel lainya ialah Cantik itu Luka, Sejak menyelesaikan kedua novel itu aku jadi sangat tertarik dengan sastrawan Indonesia satu ini. Gaya penulisan yang khas, “berani” serta berwawasan Nusantara mengingatkanku kepada Sastrawan terkenal Indonesia lainnya, yaitu Pramoedya Ananta Toer.

Seperti dendam, rindu harus dibayar tuntas merupakan salah satu buku Eka yang cukup berani. Topik bahasan yang menjadi biang masalahnya dalam Novel ini ialah “burung”, kemaluan lelaki. Kasar dan tidak sopan dalam budaya Indonesia. Digambarkan bahwa seorang yang bernama Ajo Kawir, mendapatkan burungnya tidak bisa bangun dan mengeras selayaknya pria normal lainnya. Penyakit ini berawal ketika dia dan si Tokek temannya dimasa kecil, mengintip rumah si Rona Merah, perempuan gila di kampung itu. Si Rona merah diperkosa oleh dua orang Polisi saat itu. Kejadian malam itu membekas didalam Ajo Kawir.

Banyak hal yang telah dilakukan Ajo Kawir untuk mengembalikan keperkasaannya kembali, mulai dari mengolesi kemaluannya dengan cabe, membiarkan siburung untuk disengat lebah, hingga memcoba merangsang dirinya dengan membaca karya stensilan Valentino. Namun semuanya itu gagal. Sepanjang hidupnya Ajo Kawir digambarkan selalu berusaha bernegosiasi dengan burungnya dan mengajaknya mengobrol.

Suatu ketika, Ajo Kawir bertemu dengan wanita pujaan hatinya, Iteung. Gadis cantik dan menyenangkan namun garang dan suka berkelahi. Digambarkan bahwa Iteung merupakan pengawal dari seorang yang berkuasa didaerah tersebut. Singkat cerita ternyata mereka saling jatuh cinta, namun Ajo Kawir merasa tidak percaya diri dengan kemampuannya, apakah dia mampu memenuhi “kebutuhan” Iteung? Burungnya saja selalu tertidur. Tidak ada perempuan yang bisa membangunkannya sejauh ini.

Kisah dalam novel ini sungguh mencengangkan menurutku, seperti yang telah kusebutkan sebelumnya, pembawaan novel ini sangat berani, kasar dan vulgar. Secara lantang kata-kata seperti ~kontol~, ~memek~ dengan gamblang disebutkan disini. Cara Eka bercerita juga cukup membingungkan diawal. Alur cerita yang lompat-lompat dari satu kisah ke kisah lainnya, namun secara jenius Eka dapat menyambungkan semua, sehingga semakin jauh kita membaca semakin terlihat runutan ceritanya. Namun begitu dibalik semua hal yang terjadi di Novel ini, terselip realita isu sosial yang mungkin Eka coba sampaikan. Bagaimana kita sebagai pria didalam kehidupan selalu bergerak atas kehendak nafsunya (kemaluannya) bukan otaknya. Dalam sepenggelan dialog dari Novel ini,

“Kenapa kau selalu bertanya kepada burungmu untuk semua hal?” tanya Mono Ompong, sekali waktu. “Kehidupan manusia ini hanyalah impian kemaluan kita. Manusia hanya menjalaninya.” Si Tokek akan mengatakan, itu filsafat

Cerita ini ditutup dengan cukup menarik. Ajo Kawir tiba disuatu titik kepasrahan terhadap burungnya. Dia berhenti atas usaha-usahanya untuk membuat burungnya hidup. Dia membiarkan keadaannya seperti itu dan menunggu hingga waktunya tiba burungnya akan bangun. Dia memilih jalan sunyi, dengan hidup tenang menjadi supir truk Jawa-Sumatera.