Enjoy London, Semoga Sukses

Begitu Entry Clearance-ku untuk memasuki Inggris dicap oleh petugas imigrasi, dia berkata ‘Enjoy London’. Aku sambil tersenyum, mengucap ‘Thank you’ namun didalam hati berteriak ‘Semoga Sukses’, untuk… diriku sendiri…


Ada banyak hal yang kulalui ditahun 2021 yang lalu, banyak yang berubah tanpa disengaja, banyak juga yang atas keinginanku sendiri, berubah. Perubahan terbesar ialah, memulai hidup baru di London.

5 Januari 2022, pukul 6 pagi waktu London, pesawat yang mebawaku dari Singapura tiba di Heathrow Airport, London. Aku turun dari pesawat dengan menenteng koper kabin, satu tas sandang dan sebuah jaket untuk mengantisipasi cuaca dingin. Teman-temanku sudah mewanti-wanti bahkan sebelum ku berangkat “siap-siap puncak musim dingin, nanti ketika dirimu tiba”.

Semua penumpang dari luar Inggris, diarahkan ke Imigrasi. Aku juga begitu, mengikuti kerumunan yang berjalan cepat. Dalam pikiranku, ‘ah masih pagi, tidak banyak penumpang cuman kami sepesawat’. Namun aku salah, ternyata sudah ramai berkerumun orang-orang mengantri untuk dicap paspornya.

Begitu tiba di area Imigrasi, penumpang yang baru tiba dibagi menjadi dua antrian, pertama, antrian untuk pemegang paspor Amerika Serikat, Kanada, Inggris dan Persemakmurannya. Satu lagi untuk pemegang paspor selain negara-negara tersebut. Antriannya panjang dan mengular hingga memenuhi satu ruangan seluas setengah lapangan sepakbola, sangat luas. Kuperhatikan ada berbagai orang disini, kebanyakan India dan China, dua ras yang paling mudah dikenali. Beberapa ada yang seperti diriku, berkulit sawo matang, rambut hitam dan wajah khas ras malayan-mongoloid. Setelah aku liat dari gambar paspor yang mereka pegang, ternyata mereka dari Filipina. Setiap orang memegang paspor dan berbagai dokumen lainnya. Aku tak tahu untuk yang lain, tapi untuk pemegang Visa kerja sepertiku, selain paspor aku juga perlu melampirkan invitation letter dari UKVI (Kantor Urusan Imigrasi dan Visa UK), dokumen order test PCR dan boarding pass.

Enjoy London 1/16: Penerbanganku ke London pukul 7 malam dan siang harinya aku masih pergi kekantor lama untuk mengurus beberapa hal Enjoy London 3/16: Tidak banyak teman-teman yang tahu tentang rencanaku ke London, aku beruntung orang-orang yang kuberitahu mendukung selalu keputusanku. Terimakasih Koko dan Cici sudah mengantarkanku Enjoy London 4/16: Ada satu cita-citaku untuk tetap terus naik gunung dan ketika pulang dari suatu pendakian sebagai oleh-oleh aku membawa sticker yang biasa dijual dibasecamp pendakian dan menempelkannya dikoper. Namun sepertinya cita-cita tersebut harus tertunda dulu Enjoy London 5/16: Walau sudah beberapa kali ke Bandara Changi, tapi rasanya selalu takjub ketika kesini lagi. Bandaranya besar dan megah Enjoy London 6/16: Transit di Bandara Changi, Singapura. Pukul 1 malam waktu Singapura atau 12 malam waktu Jakarta. Sudah mengantuk, namun masih menunggu penerbangan selanjutnya yang ternyata tertunda. Enjoy London 7/16: Akhirnya setelah perjalanan 17 jam, sampai juga ke Inggris Enjoy London 8/16: Pukul 8 Pagi waktu London, semua urusan telah selesai dan sudah dapat keluar dari Bandara, namun jemputan baru akan datang pukul 11. Ngopi Heula Enjoy London 9/16: Hari ke-3 dipenginapan, setelah hasil tes PCR keluar dan aku dinyatakan negatif, maka aku sudah boleh keluar penginapan. Pemandangan begitu keluar dari penginapan. Enjoy London 10/16: Transportasi publik di London cukup bagus, sehingga kemana-mana cukup nyaman menggunakan transportasi publik. Ini merupakan salah satu stasiun terbesar di London, St Pancras dan King Cross Enjoy London 11/16: Januari, masih musim dingin disini. Suhunya hingga 3-5 derajat celcius, sangat dingin dan sangat jarang ada matahari, selalu mendung seperti ini Enjoy London 12/16: Big Ben yang menjadi ciri khas kota London. Saat ini Big Ben sedang direnovasi, namun kemegahannya tetap dapat dinikmati dari kejauhan Enjoy London 13/16: Pukul 5 sore, matahari sudah turun dan mulai gelap. Musim dingin membuat siang menjadi lebih pendek. Enjoy London 14/16: Selamat pagi London, pemandangan pagi hari dari jendela tempatku menginap. Matahari pagi baru muncul pukul 7.30 pagi di London membuat waktu tidur menjadi panjang. hahaha Enjoy London 15/16: Tepat diseberang Big Ben, terdapat ikon kota London juga, yaitu London Eye. Sebuah Bianglala (atau Observation Wheel) besar dipinggir sungai Thames Enjoy London 16/16: Untuk dapat menaiki transportasi publik di London, kita harus memiliki kartu pembayaran yang namanya Oyster. Selain menggunakna Oyster, kita juga dapat menggunakan kartu debit/kredit yang terdapat fitur contactless payment


Aku disitu hampir satu setengah jam, berbaur dan mengantri bersama penumpang yang lain. Maju perlahan-lahan. Bosan dan lelah. Dalam hati, aku menyesali tidak ada buku yang kubawa saat itu, seandainya ada, aku bisa sambil membaca untuk mengusir kejenuhan. HP-ku juga tinggal 20% lagi baterainya. Ini akan kuperlukan nanti. Semua hal yang kubutuhkan ada di-hape ini, alamat yang kutuju, dokumen digital dan bukti booking ada di HP ini. Aku hanya mengambil beberapa foto selfi dengan latar “UK Border” saat itu. Aku mengirimkan foto itu ke keluarga dan beberapa teman. Ada niatan juga untuk langsung mengupload ke Instagram, tapi kuurungkan. Aku teringat, tidak banyak teman-teman dan kenalanku yang mengetahui rencana besar ini. Lebih baik nanti saja ketika aku sudah menetap dan permanen disini. Bukan masalah ingin menjadi misterius atau rahasia-rahasia-an, tapi semakin mendekati hari keberangkatan ke London, semakin aku menyadari suatu hal diluar antusiasme, gairah dan semangat, suatu hal membuatku waspada dan sedikit takut. Aku menyadari posisiku sangat rentan disini.

Sambil mengantri, pikiranku kemana-mana saat itu. Aku mengingat-ingat sedikit kejadian dari 5 bulan yang lalu, ketika aku mendaki Gunung Kerinci. Perjalanan ini menjadi sebuah titik balik dan timbulnya kesadaran terhadap, “Apa yang harus kulakukan selanjutnya?” Turun Gunung dan kembali ke Jakarta, aku merelisasikan untuk serius memikirkan masa depan. Aku mulai belajar lagi dan mempersiapkan diri untuk melanjutkan pendidikan lagi, S2. Aku juga semakin serius mengikuti beberapa wawancara kerja. Memang aku sudah mulai mencari-cari pekerjaan baru sejak pertengahan tahun 2011. Pekerjaanku yang sekarang cukup menarik dan cukup bagus, namun aku ingin mencapai hal lain dalam hidup saat ini.

Dari sekian banyak interview dan hiring process yang kuikuti, aku beruntung dapat diterima di suatu perusahaan di London. Dan ini lah aku sekarang, pindah ke London.

Pada awalnya, begitu aku mendapatkan offering letter, aku sangat senang sekali. Setelah itu tahap demi tahap lagi kuhadapi, tanda-tanganin beberapa dokumen, pengurusan Visa, mengirim semua barang-barang yang tidak akan kubawa ke Inggris ke Pekanbaru, dan packing tentunya. Disela-sela itu aku juga berusaha menikmati hari-hari terakhirku di Indonesia, aku menyempatkan diri untuk ke Latimojong. Aku balik ke Pekanbaru, pamit ke keluarga, aku sempatkan untuk berpamitan juga kepada teman-teman dekat. Semua menyenangkan, hingga tiba saat-saat aku di Bandara, semua orang yang mengantar telah pulang dan aku masuk ke Terminal keberangkatan, melakukan check-in dan memasukkan barang-barangku ke bagasi. Besok aku sudah tiba di-Inggris, aku akan memulai hidup baru, beradaptasi kembali, semua harus kulakukan sendiri disini. Ini kayak kehidupanku direset semua, sedikit teman yang kukenal (beberapa bahkan sangat jauh dikota lain), cari tempat baru untuk tinggal, belajar budaya baru dan banyak hal lainnya.

Masalah lainnya selain adaptasi, setiap keputusan besar pasti akan selalu diikuti dengan resiko yang besar yang kupertaruhkan. Begitu juga dengan keputusan ini, pindah ke London dan memulai karir disini. Resiko terbesar yang aku berusaha untuk mengantisipasinya ialah “bagaimana jika aku gagal disini? Bagaimana jika aku gagal kali ini?” Pindah kerja keperusahaan baru berarti harus memulai dari 0 lagi juga, harus bisa membuktikan kontribusi terhadap tim dan terhadap perusahaan. Diawal-awal aku tidak akan langsung menjadi karyawan permanen, namun aku akan mulai dari masa probation selama 3 bulan. Aku sempat mikir, antisipasi terhadap kemungkinan terburuk. Seandainya aku gagal kali ini, aku akan balik ke Indonesia, aku tidak akan langsung mencari pekerjaan, tapi aku akan berkeliling menemui teman-temanku, di Bandung dan Jakarta, duduk bersama mereka, ngoborol dan ketawa-ketawa, tanpa membahas kejadian buruk yang menimpaku, seandainya itu terjadi. Lalu aku akan pergi ke Gunung, mungkin Binaiya untuk menyelesaikan 7 summit, mungkin Slamet, untuk mendaki, sambil merenung diperjalanan, mengenai hal buruk yang baru saja kualami. Seandainya kegagalan itu terjadi. Atau kalau belum cukup, mungkin akan ku bobol semua tabunganku, untuk pergi ke Gili Nanggu di Lombok, sekali lagi dan duduk ditepi pantainya yang sepi, sambil merenungi nasib. Seandainya hal buruk itu terjadi.

Lain halnya, aku sudah merasa sepi, bahkan ketika aku akan berangkat saat itu. Aku memikirkan, seandainya aku merasa bosan dengan segala aktivitasku sehari-hari, apakah aku akan menemukan teman-teman yang bisa diajak nongkrong, seperti saat-saat di Jakarta atau seperti semasa kuliah di Bandung? Kemana aku akan pergi seandainya kesepian nanti? Atau hal buruk lainnya, seandainya sesuatu terjadi, aku sekarat, siapa yang akan kumintai tolong pertama kali? Kalau aku mati, mungkin aku akan menjadi mayat tak dikenal disini. Menyedihkan. Pertaruhan yang besar sekali kalau ku-ingat-ingat semua ini. Rentan sekali hidupku.


Aku masih mengantri untuk di-cap paspornya. Mataku sudah sangat berat saat itu, bagaimana tidak hampir 15 jam dalam perjalanan, aku hanya dapat tidur selama 2 jam. Ingin rasanya semua urusan administrasi ini selesai dan aku dapat langsung menuju hotel dan tidur.

Begitu mencapai antrian dibaris paling depan, aku dapat melihat jelas banyak loket-loket disitu. Di setiap loket terdapat satu petugas Imigrasi yang akan melakukan pengecapan paspor para penumpang. Mataku tertuju pada loket nomor 12. Seorang pria dan seorang wanita berkulit putih sedang menjalani proses di Imigrasi, dilayani oleh seorang petugas. Selama lebih dari 10 menit, mereka, petugas Imigrasi dan kedua orang penumpang tersebut terlihat membicarakan sesuatu. Aku tak tahu apa, tidak terdengar sama sekali apa yang mereka bicarakan dari tempatku mengantri. Setelah itu si Petugas Imigrasi memanggil salah satu petugas lapangan lain. Lalu kedua penumpang tersebut digiring ke Area khusus. Mungkin kelengkapan Imigrasi mereka ada yang kurang. Aku tak tahu. Tapi sejujurnya aku jadi sedikit cemas, apakah aku dapat melewati proses Imigrasi ini?

Tiba giliranku. Aku diarahkan oleh seorang petugas dilapangan untuk menuju salah satu loket di Area Imgirasi. Aku berhadapan dengan seorang petugas Imigrasi Pria. Perawakannya tinggi, gempal dan dengan muka tegas. Dia duduk dibelakang loket dengan meja tinggi dan dibatasi dengan kaca antara petugas dan para penumpang. Aku rasa dari balik loket tersebut, petugas Imigrasi dapat melihat dengan jelas kepada setiap penumpang yang dihadapi mereka.

Petugas Imigrasi mengucap salam dan meminta semua dokumenku. Aksen Britishnya yang kental, membuat jantungku berdebar-debar. Kemampuan bahasa Inggrisku tidak cukup bagus untuk dapat mengikuti penutur Bahasa Inggris dengan aksen British. Gaya pengucapan yang aku sebut melambai-lambai, sangat susah untuk dimaknai ketika sampai ketelingaku. Berulang kali petugas menginstruksikan untuk menunjukkan dokumen order test PCR yang saat itu tidak aku print. Hingga pada akhirnya dengan wajah memelas dan pucat pasi, aku berkata ‘Slowly Please, Sir’. Tensi dan nada tinggi dari petugas tersebut sedikit mereda.

Setelah aku memberi semua dokumen yang dia minta, kemudian dia menanyakan beberapa pertanyaan yang salah satunya ialah apa yang akan aku lakukan di UK? Pertanyaan gampang pikirku, untung tidak ditanya dokumen pemeriksaan TBC atau dokumen test IELTS yang merupakan salah satu persyaratan untuk mendapatkan Visa kerja di Inggris. Seandainya itu ditanya, bisa mati aku. Tanpa sengaja aku memasukkan dokumen tersebut dikoperku yang aku taruh di Bagasi. Bingung pastinya untuk mengatakan bahwa dokumen tersebut bisa aku tunjukkan tapi aku harus melakukan klaim bagasi terlebih dahulu, sementara area klaim bagasi berada diluar Area Imigrasi. Dan untuk kesana harus selesai terlebih dahulu semua urusan clearance di Area Imigrasi. Aku tidak siap dengan pertanyaan ini.

Pertanyaan lain yang sudah aku persiapkan jawabannya ialah, akan menginap dimana dan berapa uang yang aku bawa. Kalau seandainya ditanyakan hal seperti itu, aku sudah siap dengan jawaban, aku tidak bawa uang se-Rupiah atau Se-Poundsterling-pun. Aku hanya bermodal kartu kredit untuk bertahan hidup nantinya, sambil menunggu gajian pertama. Aku tak punya jawaban lain yang lebih bagus selain itu. Namun pertanyaan ini tidak ditanyakan.

Setelah dia menanyakan apa yang akan aku lakukan di UK? Aku menjawab dengan pasti, “I am working”. Nada bicara petugas imigrasi meninggi, dengan tegas dia mengatakan “no, you are not working yet”. Seketika aku bingung, lah kan memang sesuai dengan Visa yang kudapatkan, apa lagi kurang? Dalam hati aku agak sedikit takut, apakah aku akan tidak diizinkan untuk memasuki Inggris? Aku tak tahu. Dia meminta dokumen lain, yaitu surat invitation yang disertakan ketika pengambilan Entry Clearance (cap Visa izin masuk UK). Saat itu aku bingung dan tak tahu dokumen apa itu? Petugas di-loket sebelah yang selang beberapa menit sempat curi dengar pembicaraan kami berdua menunjukkan contoh surat yang dimaksud. “Ohh, itu..” Aku paham dokumen mana yang harus kuberikan kepadanya. Aku memberikan dokumen yang diminta petugas tersebut dan kemudian dia menjelaskan bahwa Entry Clearance tersebut menandakan bahwa aku diizinkan untuk memasuki Inggris pada tenggat waktu yang ditentukan. Aku belum diizinkan untuk bekerja. Jadi statusku akan mulai bekerja. Kemudian dia kembali kekomputernya dan melakukan pengecekan. Aku tak tahu apa. Tak berselang lama, tangannya berpindah dan meng-cap pasporku. TAP!!!!!

Begitu Entry Clearance-ku untuk memasuki Inggris dicap oleh petugas imigrasi, dia berkata ‘Enjoy London’. Aku sambil tersenyum, mengucap ‘Thank you’ namun didalam hati berteriak ‘Semoga Sukses’, untuk diriku sendiri.

Ada perasaan senang dan bahagia bahwa akhirnya perjuangan panjang selama lebih kurang 6 bulan kebelakang berbuah manis. Aku dapat memasuki Inggris, dan minggu depan akan memulai pekerjaan baru. Tentunya juga hidup yang baru. Namun, ada perasaan gentar dan takut, bahwa ada kemungkinkan juga aku gagal dan tidak bertahan disini. Kemungkinan aku tidak betah dan tidak dapat menyesuaikan diri.

Tidak, ini bukan sebuah berpikir berlebihan (overthinking). Ini hanya sebuah kalkulasi dari lompatan hidup dan keputusan yang baru saja aku lakukan. Semua keputusan selalu akan dibayangi oleh kemungkinan kegagalan. Hal itu sedikit menghantuiku, disepanjang perjalanan bahkan sesaat setelah aku mengiyakan tawaran untuk bekerja di Inggris ini. Bahagia memang bahwa aku sudah bisa sampai sejauh ini, tapi euforia bahagia ini tidak boleh melenakan diriku. Itulah mengapa dalam hati aku berteriak ‘Semoga Sukses’.

Semacam pengingat bahwa ini hanya langkah awal. Titik Nol untuk sebuah tantangan baru. Sisanya aku harus berjuang lagi. Jauh lebih keras, jauh lebih gigih, jauh lebih berani! “Semoga Sukses”, untuk diriku sendiri.