Signout @itb

singout@ITB

singout@ITB

Pada akhirnya dapat keluar dengan kepala tegap dari kampus ini. Kampus asri di Utara kota Bandung. Agak sempit karena perbandingan antara luas lahan dan luas bangunan cukup kecil, sehingga membuat sedikit sekali tempat lapangan terbuka, jarak antar bangunan juga menjadi cukup dekat satu sama lain. Kita bisa mengelilingi kampus dari depan dengan berjalan kaki. Berpindah tempat dari satu gedung ke gedung lain. Hal ini membuat kemungkinan untuk bertemu orang lebih besar. Dengan jumlah penghuni yang cukup banyak dibandingkan dengan ketersedian penampungan orangnya membuat kampus ini menjadi sangat ramai pada saat jam-jam sibuk, seperti pada saat pagi jam 7, jam ganjil (jam pergantian kelas kebanyakan dijam ganjil seperti jam 7, 9, 11) dan ketika jam makan siang. Kesempatan berinteraksi dengan orang lain menjadi cukup besar. Terkadang harus praktikum di gedung bagian depan dan kemudian diikuti dengan kelas di gedung bagian tengah, lalu sore hari menghabiskan waktu dibagian belakang kampus. Kontur dan lanskap wilayah kampus yang tidak rata membuat otot kaki para penghuni kampus berubah menjadi besar dan berisi, karena selalu dipaksa untuk berjalan, otot kaki menjadi sangat sering dipakai.

Hal yang paling menyenangkan adalah begitu banyak jalur pejalan kaki dikampus ini yang sebagian besar diteduhi oleh pohon-pohon rindang atau beberapa dengan atap. Tempat terbuka sangat sedikit, namun menjadi sangat efektif digunakan. Seandainya anda sedang berkunjung kesini, cobalah keliling kampus diantara jam 10 hingga jam 12 siang atau jam 2 hingga jam 6 sore, akan begitu banyak tempat terbuka seperti taman atau beranda gedung bahkan teras-teras yang akan digunakan oleh mahasiswa untuk berkumpul dan bahkan belajar. Duduk lesehan dan berkelompok, atau bila beruntung mereka akan mendapatkan bangku disekitaran kampus. Interaksi menjadi sangat terbuka dikampus ini. Setidaknya penghuninya bisa kenal ratusan orang lain selain teman seangkatan dan sejurusan. Kenal sana-sini, tahu dia dan mereka. Lingkaran pertemanan meluas. Sebagian besar atau kecil dari mereka akan terus-terusan berinteraksi, saling menumbuhkan empati dan kehangatan membuat hubungan menjadi lebih dekat. Terbentuklah persahabatan. Lainnya tertarik dengan lawan jenis, berteman dekat dan menemukan kecocokan, ada perasaan dan cinta. Menjalin hubungan yang lebih dalam, pacaran.

Ambisi dan Relasi

Empat tahun secara fisik berada dikampus ini membuatku memahami banyak hal tentang kampus ini. Kultur dan budaya menjadi dua hal diantaranya. Ada tempat dimana orang-orangnya sangat ekspresif untuk menunjukkan diri mereka; Ada tempat yang orang-orangnya sangat terbuka terhadap berbagai pemikiran yang ada; Satu tempat yang orang-orangnya sedikit eksklusif dari mayoritas lingkungan; Tempat lainnya yang dengan budaya fashion seadanya, jaket himpunan yang kumal, santai, penuh canda tawa dan menikmati hidup; di tempat berbeda akan kita temui orang-orang dengan fashion dan cara berpakaian terkini, lengkap dengan laptop ditangan, minuman dan makanan bermerk, tetap santai, penuh canda tawa dan menikmati hidup, namun dengan gaya yang berbeda; Ambisi tak pernah lepas apapun kebudayaannya dari penghuni kampus ini. Bahkan kadang aneh-aneh, tidak melulu soal prestasi akademis, publish paper atau sekedar ikut lomba. Ambisi paling standar tetap, seperti bekerja di-‘The Big Fours’ atau ‘Top Three’, masuk BUMN, membuat perusahaan sendiri, kuliah di luar negeri dan sebagainya. Lebih sederhana lagi, ambisi untuk menduduki suatu jabatan penting di-organisasi, dapat beasiswa, ikut program pembinaan dari perusahaan besar serta lain sebagainya. Bagaimana yang ambisi diluar semua itu? Yang cukup aneh menurutku ialah ada yang bertekad untuk mengumpulkan dan menonton anime (dia mempunyai hampir 10 hdd yang masing-masing sekitar 1 TB), ada yang bertekad untuk mengoleksi dan memainkan board game, ada yang begitu menikmati berjalan kaki sehingga ketika setelah dia diwisuda berambisi untuk menikmati hidup dengan bertualang dan berjalan kaki dari bandung hingga ke Jakarta (kalau tidak salah), lainnya memilih bersepeda ke timur jawa sana. Tidak punya ambisi juga ada, membiarkan hidupnya berjalan dan mengalir apa adanya, setelah lulus tidak tahu kemana dan hanya mengabdi atau hidup dengan cita-cita sederhana, pulang kekampung halaman dan membuat sesuatu.

Mengenang tahun-tahun pembentukan dalam kampus ini memaksaku untuk membuka kembali kenangan pahit tentang hal yang menyedihkan yang harus kulewati. Bandung menjadi tempat tersedih ketika aku berkunjung. Semua gara-gara ambisi yang gagal dan banyaknya kehilangan lingkaran relasi yang tidak diharapkan. Perpisahan maksudnya. Teman datang dengan begitu mudahnya, berkunjung saja kesatu pusat aktivitas mahasiswa seperti unit atau ikut bergerak dalam berbagai organisasi serta kepanitiaan yang ada. Begitu juga, relasi ini dapat dengan mudah hilang, musnah ketika aku disibukkan dengan hal lain. Proyekan misalnya, saat itu ketika aku membutuhkan uang, aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan mengerjakan proyek diluar kampus.

Ada cerita menarik yang membuat aku merasa menyesal karena gagal dalam membina relasi yang bagus pada beberapa orang dan kelompok dikampus ini. Ceritanya begini, ketika tahun pertamaku, aku bertemu dengan seorang pejabat yang cukup terkenal. Dia merupakan lulusan dari kampus ini juga, aku sudah mengetahuinya sebelumnya. Namun perkenalan kita menjadi berbeda ketika aku dan dia terlibat dalam obrolan berdua, empat mata. Tidak dalam pembicaraan yang serius, namun saat itu, aku menemaninya dalam sebuah acara di kota asalku Pekanbaru. Ketika dia mengetahi asal kampusku, ada suasana cair didalamnya. Selayaknya senior yang bertemu dengan juniornya, obrolan menjadi santai, tidak formal. Sebelumnya sedikit kaku, karena memang ada batas antara aku dan dia. Dia sebagai orang penting diacara tersebut dan aku hanya sebagai volunter yang membantu acara tersebut. Obrolan mengalir, kebanyakan seputar tentang aktivitasnya ketika dikampus, seperti unit kegiatan mahasiswa yang diikutinya, terselip beberapa orang terkenal lainnya yang merupakan teman dekatnya. Beberapa nasehat dan mungkin seperti wejangan sesekali terucap, dengan suara berat namun dengan perlahan dan lambat.

Satu hal yang kuingat “bertemanlah dengan baik selama kuliah, percayalah beberapa teman kamu akan menjadi orang hebat nantinya”, kurang lebih seperti itu. Aku menyimpan ini dalam-dalam, ya saat itu aku masih belum bisa memprosesnya. Cerita berlanjut ketika tiba hari kelulusanku, sehari sebelum prosesi wisuda, aku berjalan keliling kampus, dari lab di gedung Fisika, sebagian besar waktuku disini, berjalan ke GKU Barat, terus ke 4 labtek, kemudian melewati kelas-kelas yang tempatku belajar, TVST, Oktagon, sampai ke Gedung Matematika lama, tempat kubekerja paruh waktu kala itu. Lanjut ke PAU, perpustakaan, jalan kedepan terus ke GKU Timur hingga tiba ke gedung FSRD. Memori yang terkenang masih hangat, penuh perasaan campur aduk, kebahagiaan, kesedihan, canda tawa, kegagalan. Besok bagian hidupku untuk menjadi mahasiswa telah selesai, namun orang-orang yang pernah berlalu didalam hidupku, mereka seakan muncul dan berkata “hubungan kita kedepan tidak akan baik-baik saja”.

Kereta Api dan Bus Travel

Setelah empat tahun kuliah, hampir semua kelas yang diwajibkan telah kuambil, SKS yang diprasyaratkan sudah mencukupi, hanya terhalang satu mata kuliah yang belum cukup nilainya dan membuat kelulusanku tertunda. Niat bersambut kesempatan, daripada menangisi keadaan bahwa aku memang sudah divonis tidak bisa lulus 4 tahun, aku mengambil tawaran untuk bekerja disebuah start-up di Tangerang, Banten, kota satelit di sebelah Selatan Jakarta. Seminggu sekali aku akan pergi ke Bandung untuk menghadiri kelas dan menyelesaikan penelitian skripsi. Setiap Jumat pukul 8 malam berangkat dari stasium Rawa Buntu ke Tanah Abang dan kemudian lanjut ke Gambir dengan ojek. Menaiki kereta terakhir ke Bandung pukul 23.39 dan tiba di Bandung Sabtu dini hari. Bebersih dan kemudian terlelap tidur dan mengakhiri minggu panjang ini sekali lagi. Beban ini serasa hilang sejenak ketika udara dingin Bandung. Beban akan keputusan yang kuambil untuk bekerja sambil menyelesaikan skripsi. Walau keputusan ini aku ambil secara sadar dengan konsekuensi akan semakin sibuk hari-hariku, tapi ketika lelah semua konsekuensi ini terasa sebagai beban dipundak yang harus selalu kupikul dan kuantarkan ketujuan, kelulusan.

Selama akhir pekan aku menghabiskan waktu di Bandung, Senin kekampus menghadiri satu kelas dan bertemu dosen untuk bimbingan, sesuatu yang menjadi kewajibanku namun yang sejujurnya cukup jarang kulakukan. Setidaknya hanya sebulan sekali aku melaporkan perkembangan skripsiku, tidak tiap minggu.